Jumat, 21 April 2017

Memoar : "Habis Gelap Terbitlah Terang"

Dari mana aku mendapat pelipur penguatkan hati ?
ialah dengan sedikit-dikitnya memikirkan kepada diriku sendiri, 
dan sebanyak-banyaknya dan terutama sekali kepada orang lain.
(Dikutip dari surat R.A Kartini yang tiada diumumkan) -hlm 111
Buku ini sudah ada di rumah sejak saya duduk di bangku Sekolah Dasar sekitar tahun 2005/2006, saat buku ini sudah memasuki cetakan ke dua puluh duanya. Sudah ada sejak SD tapi baru sempat baca hari ini ketika sudah duduk di bangku perkuliahan, ckck. Maka jadilah ia, buku lama yang baru dibaca..!! Tapi tak masalah, lebih baik daripada tidak dibaca sama sekali bukan ?
Dalam buku ini terdapat beberapa surat-surat yang dikirim oleh Ibu kita R.A Kartini kepada beberapa orang yang kesemuanya adalah orang Belanda selama beliau dalam “bui”.
Ada banyak pelajaran dan akan tampak pula seperti apa perjuangan yang beliau upayakan untuk memperjuankan martabat perempuan dalam dunia pendidikan di tanah air ini.
Maka dari itu, di sini akan saya coba kutip beberapa isi surat tersebut yang sudah diterjemahkan Bapak Armijn Pane dari bahasa Belanda dalam bukunya "Habis Gelap Terbitlah Terang" ini. Kurang lebihnya mohon dimaklumi, dan selamat membaca J
~~~

Dari pada mati itu akan tumbuh kehidupan baru. Kehidupan baru itu tiada dapat ditahan-tahan,dan meskipun sekarang dapat juga ditahan-tahan,besoknya kan tumbuh jua dia, dan hidup makin lama makin kuat makin tangguh.

_Dikutip dari surat Kartini yang tiada diumumkan_ 
(Hlm. 1)
***
Oktober 1900
(Nyonya Ovink-Soer)
Selama hidup saya ini telah kerapkalilah saya rasai sendiri, bahwa banyak sekali kehendak hati berkenan disertai oleh luka hati.
Banyak kajadian, amatlah banyaknya pada manusia yang akhir-akhir ini, semuanya membuktikan hal ini: Manusia menimbang – Allahlah yang memutuskan. Sekalinya itu jadi  peringatanlah bagi kita manusia yang picik ini, ialah peringatan supaya janganlah sekali-kali angkuh, percaya dengan sungguh-sungguh bahwa kita sendiri ada kodrat kemauan sendiri.
Adalah Kodrat yang lebih besar, lebih tinggi dari pada kuasa, dunia semuanya bersama-sama: adalah lagi Iradat, lebih kuat, lebih kuasa daripada segala kemauana manuasia semuanya bersama-sama.
Sungguh sia-sialah manusia yang takabur mengatakan kemauannya sendiri keras sebagai besi, kukuh sebagai tenaga raksasa.
Hanya ada satu kemauan, yang boleh dan harus pada kita, ialah kemauan akan bertuankan dia: Kesucian!

Alangkah banyaknya yang berubah di dalah rohani kami, maka kami berkata demikian...
Memang, banyak yang berubah di dalam rohani kami, sungguh banyak!
(Hlm. 71)
***
28 Juli 1902
(Nyonya Abendanon)
Tetapi tiada awan di langit yang tetap selamaya, demikia pun tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita, kerap kali lahirlah pagi yang seindah-indahnya. Dan itulah jadi pelipur hati saya. Kehidupan manusia itu sambetul dengan keadaan alam. Yang tiap-tiap hari harus kita do’akan kepada Tuhan : Kekuatan!
Air hujan yang menjadikannya sebatang tumbuh-tumbuhan berdaun dan bertunas, menumbangkan yang lain, dan menjadikan tumbuhan itu busuk.
(Hlm. 136)
***
4 Oktober 1902
(Tuan Anton dan Nyonya)
Alangkah bahagianya laki-laki, bila perempuannya bukan saja menjadi pengurus rumah tangganya, ibu anak-anaknya saja, melainkan juga jadi sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaanya itu. Hal yang sedemikian itu tentulah berharga benar bagi kaum laki-laki, yaitu bila dia bukan orang yang picik pemandangannya dan angkuh.
Kami disini meminta, ya memohonkan, meminta dengan sangatnya supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini, melainkan karna karena kami, _oleh sebab sangat yakin akan besar pengaruh yang mungkin datang dari kaum perempuan_ hendak menjadikan perempuan lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan oleh Alam sendiri ke dalam tangannya:menjadi ibu _Pendidik manusia yang peratam-tama.
Bukankah dari perempuanlah manusia itu mula-mula sekali mendapat didikannya yang biasnaya bukan tidak penting artinya bagi manusia selama hidupnya.
Perempuanlah yang menaburkan bibit kebaktian dan kejahatan yang pertama-tama sekali dalam hati sanubari manusia: rasa kebaktian dan kejahatan itu kebanyakannya tetaplah ada pada manusia itu selam hidupnya.
Beberapa lamanya yang sudah lalu, pada pikir kami, orang yang pandai yang banyak  pengetahunannya,mulia  pulalalh budi pekertinya.Sayang! Untunglah dengan lekas kami terjaga daripada bermimpi itu – lalu mulailah tampak oleh kami, bahwa berpengetahuan banyak itu belumlah sekali-kali, menjadi ijazah tanda mulia budi pekerti orang itu.
Sangatlah terharu hati kami, dan tercengan, ketika kami maklum hal demikian itu. Ketika kami kami terlepas daripada rasa terharu itu kami selidiki perkara itu lebih lanjut dalam-dalam, kami cari sebab-sebabnya. Dan kami pun sampai pulalah ke hadapan pinru gerbang kebenaran yang kedua: “Bukanlah sekolah itu saja yang mendidik hati sanubari itu, melainkan pergaulan di rumah terutama harus mendidik pula! Sekolah mencerdaskan pikiran sedang kehidupan di rumah tangga membentu watak anak itu!”
Ibulah yang jadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibu itulah dipertanggung jawabkan kewajiab pendidikan anak-anak yang berat itu: yaitu bagian pendidikan yang membentuk budinya. Berilah anak-anak gadis pendidikan yang sempurna , jagalah supaya ia cakap memikul kewajiban yang berat itu.
O, tahulah kiranya sekalian ibu, apa yang sebenarnya diteri,anya, bila ia karuniani bahagia perempuan yang sebesar-besranya: kemewahan ibu! Bersama-sam dengan menerima anak itu diterimanyalah kewajiabn untuk membentuk masa yang akan datang. Aduahai, jelas dan teranglah kiranya tergambar di hadapan matanya, kewajiban yang dipertanggung jawabkan oleh keibunannya kepada dirinya. Dia mendapat anak itu itu bukanlah untuk dirinya . Dia mendapat anak itu bukanlah untuk dirinya sendiri: anak itu menjadi anggotanya kelak, keluarga yang sangat besarnya itu yang dinamai Masyarakat itu!
(Hlm . 150-152)
***
21 November 1902
(Tuan E.C. Abendanon)
Bila kami tilik baik-baik, maka baik jugalah rasanya tiada semuanya kehendak hati kami terkabul. Tiadalah akan senang rasanya hati, bila tiada satu pun yang kami kehendakai, tetapi alangkah pula sedihnya, bila semua yang kami kehendaki terkabul. Oleh pengalaman sendiri, tahulah kami bahwa kerap kali bercucuranlah air mata sedih dahulu, maka keinginan hati itu terkabul.
(Hlm. 159)
***
Sekian beberapa surat-surat dari R.A Kartini dalam buku ini yang dapat tuliskan. Terimaksih sudah berkenan mampir di blog ini, tunggu postingan-postingan baru berikutnya J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar